PENDAFTARAN ANGGOTA IPKJI
sumber : Jatengdaily.com
14/11/2023, 19:27
SEMARANG (Jatengdaily.com) – Prof Dr Meidiana Dwidiyanti SKp MSc lahir di Banyumas, 15 Mei 1960. Sejatinya, kebetulan saja dia menggeluti keperawatan jiwa. Hanya karena menggantikan temannya yang batal berangkat kursus Mental Health di Kanada, lulusan S-1 Keperawatan Universitas Indonesia tahun 1990 ini, keterusan. Bahkan kini dia mengembangkan regulasi emosi untuk menyembuhkan pasiennya.
Lulusan S-2 John Moorse University (1998-2000) memang bercita-cita menjadi perawat. Sewaktu SMA, dia menjaga neneknya yang menderita stroke di rumah sakit. Saat itu, neneknya terjatuh dari tempat tidur.
‘’Entah kenapa, kok waktu itu saya mbatin, saya kayaknya cocok jadi perawat. Jadi memang benar-benar ingin jadi perawat,’’ ujar perempuan yang meraih gelar doktor dari Undip (2010-2015) ini.
Anak nomor dua dari lima bersaudara ini mengaku tidak ada keluarganya yang berlatar belakang perawat. Perempuan yang besar di Tegal itu menyatakan bahwa memilih profesi perawat sudah menjadi panggilan jiwa.
Latar belakang karirnya adalah keperawatan maternitas. Tetapi orientasi keperawatan Meidiana berubah setelah menggantikan temannya yang tidak jadi berangkat mengikuti program Mental Health di Kanada.
‘’Jadi saya menggantikan teman saya, kursus mental health di Kanada selama 14 bulan. Dari situ saya berubah dari perawat maternitas ke mental health,’’ katanya.
Sejak itu, Meidiana mengeksplorasi keperawatan jiwa. Menurutnya saat ini perkembangan perawatan jiwa punya masalah besar. Banyak orang kesepian walaupun ada medsos. Mudah berkomunikasi, namun banyak orang kesepian, depresi, bunuh diri. Ironisnya pelayanan kejiwaan yang ada saat ini masih berfokus pada fisik dan pengobatan.
‘’Kalau saya perhatikan orang-orang sakit jiwa itu berobat minum obat kemudian pulang ke rumah yang diperhatikan minum obat terus. Tapi bagaimana emosi dia, tidak diperhatikan. Ini yang saya kembangkan. Regulasi emosi, pengaturan emosi perlu dilatih supaya orang bisa mengontrol emosi,’’ paparnya.
Penanganan pasien selama ini, menurut Meidiana, hanya fokus ke fisik dan pengobatan. Padahal emosinya bisa dilatih. Itu penelitiannya. Dia mengembangkan bagaimana mengelola emosi dalam keluarga.
‘’Karena penelitian yang sudah dilakukan di rumah sakit. Ternyata setelah pulang dari rumah sakit , keluarga tidak tahu pengetahuan mengelola emosi. Jadi akhirnya pulang balik ke rumah sakit lagi,’’ katanya.
Dia berharap regulasi emosi ini menjadi inovasi pelayanan. Dalam ceritanya, ada seorang ibu yang meminta tolong karena anaknya pulang dari rumah sakit jiwa. Dia minta arahan karena hal itu sangat mengganggu kehidupannya. Semua serba tidak terkontrol.
‘’Ternyata orang tuanya sudah bercerai, saya bilang ibu dan bapak harus saling memaafkan,’’ ujar dia.
Sikap tersebut ternyata berpengaruh terhadap pengobatan. Setelah orang tuanya lebih tenang, bisa saling memaafkan, sekalipun validasi memaafkan prosesnya lama. Setelah proses itu, tiba-tiba anak bisa diajak bicara, dan alhamdulillah sembuh.
‘’Saya latih ibunya, sang ibu latih anaknya. Setelah bisa diajak bicara, ternyata anak ini sangat kecewa dan sakit hati, orang tuanya bercerai. Di situ saya melatih ibunya untuk melatih putranya. Mereka saya minta untuk bisa mengatakan ‘saya sedih saya marah orang tua bercerai, tetapi saya ridho. Orang tua latih emosi anaknya. Itu ajaib, bisa normal,’’ cerita Meidiana.
Prinsipnya menurut Meidiana sederhana, ayah dan ibu saling memaafkan, suami memaafkan istri, istri memaafkan suami. Kesadaran seperti itu yang diujicobakan.
Ada juga kasus, anak balita tantrum, setelah bapak ibu berpelukan sambil memaafkan dengan tulus, anaknya langsung diam. ‘’Ini saya ujicoba regulasi emosi. Saya sudah mikir heart koneksi, koneksi hati antara orang tua dan anak, ternyata pada saat orang tua galau, anak rewel. Emosi negatif itu menular. Kita sedih orang lain sedih,’’ tutur perempuan yang tulisan-tulisannya banyak terbit dalam jurnal-jurnal ilmiah.
Menurutnya, harus ada inovasi dalam pelayanan. Regulasi emosi ini merupakan salah satu bentuk inovasi.
‘’Pasti ada sesuatu yang belum selesai ketika pasien bolak-balik ke RS. Saya prihatin bolak-balik ke rumah sakit jiwa. Setelah kita intervensi pasien ada dampaknya. Saya katakan begini, kalau putranya mau sembuh, harus saling memaafkan, harus saling menerima. Karena itu berpengaruh terhadap kenyamanan pasien, berpengaruh terhadap jiwa pasien, dan sudah terbukti,’’ cerita Meidiana yang akan dikukuhkan sebagai guru besar Undip pada 15 Desember 2023.
Dia pun berusaha mengajar mahasiswa tidak emosi. Emosi itu berbahaya bisa menjalar ke fisik, jantung, bahkan stroke. Penyakit menular itu tidak hanya virus, bakteri, tapi emosi juga menular.
Pada prinsipnya, Meidinana hanya mencoba agar ilmu jiwa bisa menolong diri sendiri agar bisa bahagia. Karena itulah, perawat harus bisa bahagia agar bisa membahagiakan pasien. Itu penyembuhan yang sangat efektif.
‘’Tujuan saya supaya bisa menolong. Ada yang minta tolong, saya respons dengan semangat. Saya jadi profesor, bukan pinternya saya. Tapi doa-doa orang banyak, doa pasien saya. Banyak sekali keajaiban dalam regulasi emosi,’’ ucap Meidiana yang berpesan perawat harus berefleksi diri di Hari Kesehatan Nasional.
Perawat, katanya, harus meningkatkan kompetensi dan harus memastikan intervensi yang profesional. Di sisi lain, masyarakat harus belajar hidup tenang.